Rabu, 04 Mei 2011

maruko. keagamaan

Belajar Islam di Maroko
“Kalau anda mengalami penipisan rasa kebangsaan, cobalah tinggal beberapa lama di luar negeri”. Aku merasa lebih menjadi Indonesia selama di Maroko. Setidaknya, Aku pernah ziarah ke Saudi Arabia, Mesir dan Iran. Dari pengalamanku yang secuil di negeri-negeri ini ditambah obrolan dengan beberapa kawan di Belanda dan Perancis, aku menemukan rasa keindonesiaan begitu kental di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri. Kalau disuruh memilih, terus tinggal di luar atau kembali ke tanah air, aku yakin akan lebih banyak yang mengambil pilihan kedua.

Di luar, kami masih lebih suka berbahasa Indonesia, masih setia makan nasi, senang sekali berkumpul di acara-acara kemasyarakatan Indonesia, lebih memilih makan bakso, rendang, empek-empek, nasi uduk, nasi pecel, mie ayam, mie kocok, sate madura, sate padang dan lain-lain, ketimbang pizza, hamburger, steak, kfc, tagize, harira, kebab, tamis, dan seterusnya. Beberapa kawan justru baru bisa main gamelan, tari saman, pencak silat dll setelah belajar di Maroko. Kalau ada acara hiburan di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), lagu-lagu dangdut selalu meledakkan suasana heboh.

Di Maroko, Aku betul-betul merasakan kehangatan keluarga besar Bangsa Indonesia. Di sini tidak ada sekat-sekat partai politik, organisasi keagamaan, latar kultural, suku dan asal daerah. Semuanya seperti anak ayam yang dirangkul nyaman oleh induk yang bernama Bangsa Indonesia, dengan satu bahasa Indonesia dan membayangkan masa depan di Indonesia. Kami, para mahasiswa Indonesia di Maroko, bergabung dalam satu organisasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Maroko. Sejak tahun pertama di Maroko, Aku terlibat aktif di organisasi ini.

Di awal aktifitasku di PPI Maroko, Aku diserahi tugas mengawal Buletin La Mediterranee yang terbit bulanan. Mengawal penerbitan La Mediterranee membuatku memahami simpul-simpul tokoh dan pemikiran Maroko atau, jika diperluas, “al-Garb al-Islami”, satu istilah yang di Maroko lazim dipakai untuk menunjuk wilayah yang mewarisi kejayaan peradaban Islam yang berpusat di Andalusia meliputi Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan Mauritania. Selama sekitar setahun mengelola buletin ini, aku merambah hampir semua wilayah keilmuan Islam mulai dari tafsir, hadits, ushul fiqh, filsafat, tasawuf, fiqh siyasah sampai fiqh perempuan.

Dunia intelektual Arab-Islam kontemporer memang mengakui Maroko sebagai gudang para pemikir dan penulis produktif. Sebutlah misalnya, al-Jabiri di kritik nalar, Salim Yafut di epistemologi, Abdul Majid as-Sugair di relasi kekuasaan versus pengetahuan, Muhammad Sabila di modernitas, Abdussalam Benabdelali di filsafat kontemporer, Abdullah al-Arawi di sejarah, Taha Abdurrahman di filsafat bahasa dan akhlak dan Ali Omleil di sosiologi. Aku pernah menulis di Jurnal Islam BK-PPI (Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia) se-Timteng dan Sekitarnya tentang pemikiran filsafat di Maroko. Ternyata, hanya dalam empat puluh tahun, Maroko sudah bisa melahirkan pemikir-pemikir berkaliber internasional.

Ini baru di wilayah filsafat. Maroko juga punya futurolog. Namanya: el-Mehdi el-Manjra. Sebenarnya, sinyal tentang benturan peradaban yang membuat dunia goncang sekarang ini lebih dulu muncul darinya ketimbang Samuel Huntington. Hanya visi mereka beda: el-Manjra untuk menghindari, tetapi Huntington untuk mengompori. Dalam prediksinya, masa depan Eropa akan ada di tangan umat Islam. Ia juga mengatakan Arab memerlukan revolusi sekarang ini, sebab jika tidak bangsa Arab akan membayar ongkos sangat mahal karena segalanya sudah terlambat. Tokoh yang lebih banyak menghabiskan usianya di Amerika, Jepang dan Perancis ketimbang di negaranya sendiri ini sangat produktif mengeluarkan karya-karya yang menyerang sengit negara-negara kolonial lantaran penghinaan-penghinaan ekonomi, politik, kebudayaan dan nilai yang gencar mereka lancarkan kepada dunia ketiga sampai sekarang ini.

Tentu anda cukup familiar dengan Fatima Mernissi. Tokoh perempuan ini betul-betul membuktikan jargonnya, “menulis adalah obat awet muda paling mujarab”. Belum lama, ia mendapatkan penghargaan kesastraan dan kebudayaan dari Belanda. Karyanya tak pernah berhenti mengalir. Ternyata tokoh-tokoh perempuan lain, tidak kalah hebat. Kita bisa menyebut misalnya, Raja’ Naji Mukawi, pakar hukum keluarga; Aisyah al-Hijami, pakar ilmu maqashid dan Farida Zamrou, ulama perempuan yang belakangan serius meng-counter karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka adalah tiga ulama perempuan yang mendapat kehormatan menyampaikan ceramah di Majelis Raja Maroko pada Bulan Ramadlan yang disebut: ad-Durus al-Hasaniyah dengan pembicara tokoh-tokoh ulama dari seluruh dunia Islam.

Kebetulan sekarang ini Aku menulis Disertasi tentang ad-Durus al-Hassaniyah ini dengan fokus pada durus ulama-ulama Maroko. Kalau dulu ketika di Ma’had Aly Situbondo, Aku baru tahu sebatas nama al-Qurthubi, Ibnu al-Arabi Mufassir, Ibnu Arabi Sufi, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan as-Syathibi sebagai ulama dari kawasan kejayaan peradaban Islam di Andalusia, kini Aku mengenal semakin banyak nama, pemikiran dan horizon intelektual kawasan ini. Setelah di Maroko, Aku baru mengenal nama-nama ulama semacam Abu Madyan (sufi amali), Qadli Iyadl (muhaddits, mufassir), Ibnu Abdil Barr (muhaddits), Ibnu Athiyah (mufassir), Imam Sahnun (faqih); atau yang lebih belakangan: Abu Hasan al-Yusi (ensiklopedis, salah seorang pensyarah Jam’ul Jawami’), Thahir Bin Asyur (mufassir), Allal al-Fasi (tokoh kemerdekaan dan ensiklopedis keilmuan Islam Maroko); atau yang lebih gress lagi Ahmad ar-Raisuni (pakar maqashid), Muhammad ar-Rougi (Faqih), keluarga Bin as-Shiddiq (keluarga muhaddits, tinggal di kota Tanger), Syekh Hamzah (guru spiritual Tarekat Qadiriyah Butsyisyiah), Ahmad Taufiq (sejarawan) dan masih banyak lagi.

Satu nama lagi yang tidak boleh dilupakan: Ibnu Batutah, petualang besar yang mampir dua kali di nusantara dalam perjalanannya ke China dan kembali ke Maroko. Kisah perjalanannya keliling dunia itu, dituangkannya dalam kitab Rihlah Ibnu Batutah. Kitab ini sekarang menjadi lebih lengkap setelah di-tahqiq oleh Dr. Abdul Hadi at-Tazi, sejarawan Maroko, mantan Duta Besar Maroko di Irak. Apa yang dilakukan oleh Vasco de Gama atau Christopher Columbus untuk kasus Eropa, sebenarnya telah didahului oleh petualangan para pejuang dan ulama Islam. Inilah salah satu sebab, mengapa Islam begitu cepat merambah dunia. Lagi-lagi Maroko menyertakan nama besar dalam bidang ini.

Maka ketika Kepala Pusdiklat Departemen Luar Negeri RI berkunjung ke Maroko, Aku sangat bersemangat mengusulkan lembaga bersama penelitian Islam Indonesia-Maroko. Banyak bukti hubungan Indonesia Maroko tidak sekedar hubungan diplomatik, tetapi intelektual dan keagamaan. Misalnya, kitab al-Ajrumiyah, yang dikarang ulama Maroko Syekh Shanhaji itu, sangat akrab dengan kalangan pesantren di Indonesia. Tarekat Tijaniyah yang berpusat di Fes memiliki banyak pengikut di Indonesia. Ciri khas keberagamaan yang moderat, seimbang dan toleran sama-sama berlaku di Maroko dan Indonesia. Banyak hal yang harus dipelajari bersama untuk menguatkan hubungan persahabatan kedua negara untuk memberikan model Islam yang selalu sesuai dengan perkembangan dunia.

Kalangan perguruan tinggi Islam di Indonesia kelihatannya perlu mulai serius meneliti kekayaan intelektual Islam di Maroko untuk memperkaya studi Islam di Indonesia. Siapa mau memulai?
http://dedywsanusi.multiply.com/journal/item/4

Maroko Tertarik Berguru Demokrasi dan Islam dari Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, RABAT--Wakil Menteri Luar Negeri, Maroko Latifa Akherbach, menilai Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia di mana Islam dapat berjalan beriringan. Karena alasan itu Maroko ingin belajar dari Indonesia.
Keinginan itu disampaikan Latifa Akherbach di London (Inggris), Senin (21/6) malam sehubungan dengan digelarnya resepsi peringatan 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia--Maroko yang diadakan di Wisma Duta, Rabat, Senin (21/5) malam.
Hadir dalam resepsi perayaan 50 tahun hubungan Indonesia-Maroko itu diantaranya duta besar dan perwakilan negara sahabat, termasuk Dubes AS di Maroko beserta keluarga, pejabat pemerintah, akademisi, pengusaha dan kalangan masyarakat Indonesia di Maroko dan tiga mantan Dubes Maroko di Indonesia.
Latifa mengemukakan Indonesia sebagai negara Muslim dengan penduduk terbesar dapat menyatukan nilai Islam, demokrasi dan modernisasi, sehingga Maroko menilai Indonesia merupakan negara penting untuk menjalin kerja sama dalam menghadapi tantangan dan krisis global serta Islamofobia yang makin meningkat.
Ia mengatakan bahwa hubungan Indonesia Maroko semakin meningkat dengan adanya saling pengertian kedua negara. Hubungan politik yang telah berjalan selama 50 tahun, nilai dia, dilandasi keinginan yang kuat dari kedua pemimpin negara untuk saling membantu menjadi modal dalam menghadapi masalah tersebut.
Sementara itu Dubes Indonesia untuk Maroko, Tosari Widjaja menyelaskan awal hubungan diplomasi Indonesia dan Maroko dengan penyerahan surat kredensial Dutabesar Nazir Pamontjak pada 19 April 1960 kepada Raja Marako Mohammed V.
"Peristiwa 50 tahun yang lalu itu menjadi batu pijakan pertama yang menjadi landasan penting bagi para pemimpin ke dua negara untuk lebih memperkuat hubungan dan kerja sama Indonesia Maroko," ujarnya.
Selama 50 tahun hubungan bilateral tersebut ,terjadi peningkatan kerjasama. Terakhir, Indonesia-Maroko membentuk Komite Bersama Bilateral yang ditandatangani terakhir kali pada Juni 2008 dalam bidang kerja sama politik dan ekonomi.
Hubungan bilateral tersebut dapat ditingkatkan dibidang lainnya seperti pariwisata, investasi, pendidikan dan budaya dengan basis sejarah dalam upaya meningkatkan hubungan antarwarga atau "people to people contacts" yang menghasilkan pengertian yang makin besar diantara kedua negara.
Resepsi perayaan ulang tahun 50 tahun hubungan Indonesia Maroko itu digelar pameran foto photo yang mengambarkan kunjungan Presiden Soekarno ke Maroko dan disambut oleh Raja Mohammed V serta seluruh rakyat Maroko yang menyambut hangat kehadiran Soekarno ditengah kota Rabat serta peresmian pemberian nama jalan di pusat kota Rabat dengan nama Soekarno.
Acara resepsi peringatakan 50 tahun hubungan Indonesia Maroko itu juga mendapat liputan dari media masa setempat termasuk televisi RTM Rabat yang mewawancarai Dubes Tosari Widjaja.
http://jambi.kemenag.go.id/index.php?a=detilberita&id=2213


PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.

Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut sebagai ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event.’ Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Di Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali karya Clifford Geertz The Religion of Java yang ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan, santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan perhatian besar terhadap masalah keagamaan.
Teori politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang lebih luas di Indonesia.
Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah “fenomena” atau sebuah kerangka “desconstruction theory”, mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik, misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang runtuhnya “mercu suar” untuk mengklaim suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat, menunjukkan bangkitnya “pengetahuan lokal” di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.
Bassam Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia (Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang ia sebut sebagai “international morality”, suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai “tone, karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
Tradisi Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi Agama dan Sosial
Walaupun sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri. Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu lagi dipahami.
Namun sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia. Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya. Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan transendensi dan sekularisasi.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi realitas agama dari animisme sampai kepada agama monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak itu.
Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Asutralia sampai ke agama yang well-structured dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah “struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.” Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium dan saling terikat satu dengan yang lain, telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune) mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama, ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostility) di antara warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat, ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis, fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian, Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam kajian tentang hubungan antara etika Protestan, khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan hubungan antara religious ethic dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern.
Tradisi yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial manusia.
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan. Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari pesan Al-Qur’an ketika membicarakan konsep-konsep keagamaan. Al-Qur’an seringkali menggunakan “orang” untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur’an menunjuk pada konsep “muttaqien”, untuk menjelaskan konsep sabar, Al-Qur’an menggunakan kata “orang sabar” dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada pesan Qur’an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia. Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik dari realitas universal agama-great tradition.
Kajian Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif Cross-Culture
Satu hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka cukup banyak.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi tentang betapa realitas agama tidak bisa steril dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.
Sebagai wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian, Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian, dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam-dengan Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta– tetapi juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard-ataupun dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John L. Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol, sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian yang khusus.
Ada beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut.
Kedua, corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia, telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan intelektual masa kini.
Ketiga, Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa Arab melainkan Jawi Melayu-membuat Islam Asia Tenggara termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.
Namun dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat penting.
Ada beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses. Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion). Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama di daerah suku Melayu sebagai “menjadi Melayu.” Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman, seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi oleh dua kondisi sosial; historical experience dan gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya memahami suatu realitas sosial dari sudut experience (pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya. Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi. Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut.
Ketiga, sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam yang begitu banyak dikutip, utamanya kritik tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan suatu kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious yang kental dalam proses pemunculan karya seni, sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam.
Kajian tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi dua hal. Pertama, model untuk menjembatani antara budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan manifestasi Islam di setiap wilayah akan memberikan model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk melihat hubungan antara Islam dan dunia modern. Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia Muslim lainnya.
Berikut ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya dengan budaya.
Islam popular dan Islam formal
Konsep Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep popular religion and official religion yang berkembang di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan yang berjenjang serta mempunyai “office” (kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan agama. Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah yang dianggap sebagai suara resmi, “offical,” gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official dan popular.
Meskipun demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu, beberapa ahli memakai kerangka ini untuk meneliti tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian adalah bahwa popular Islam itu berwujud praktik tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman, Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham di Afrika Timur dan yang lain-lainnya.
Disamping itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular Islam untuk meneliti dua hal. Pertama, Waardenburg memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada praktik-praktik keagamaan yang bersifat lokal seperti ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus Sufi dan tokoh agama tertentu.
Contoh yang baik tentang kajian popular dan official ini mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam kajiannya menunjukkan bahwa dua kategori tersebut dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi, little tradition and great tradition, istilah yang dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam adalah cerminan dari wujudnya little tradition dalam Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam praktik Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual Islam yang cenderung berfikir formal dan legalistik yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang lebih berorientasi pada syari’ah. Bagi Gellner dua kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan oleh Sufi, sebagai elit popular Islam, dan ulama, sebagai representasi kecenderungan formal agama. Dua kelompok beragama ini selalu berebut kekuasaan dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.
Sebagai kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan di kota (urban) dan cenderung lebih profesional dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah). Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area yang mempunyai social cohesion lebih besar.
Analisis Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam. Analisis yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara mendalam.
Agama Sebagai Sistem Budaya
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya Geertz, “Religion as a Cultural System,” dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
“A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic.”
Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.
Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.
Penutup dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam
Sekarang ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal. Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Ira M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity (penasaran) untuk meneliti lebih lanjut. Yang jelas, kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam di daerah-daerah Muslim berfungsi sebagai pemersatu budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge yang utuh akan adanya Islam lokal itu.
Bagi V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan. Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat ke masa depan Islam.
Agaknya kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal. Ketiga, local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam. Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama itu sendiri.*** Jamhari Ma’ruf
http://rivafauziah.wordpress.com/2006/04/22/pendekatan-antropologi-dalam-kajian-islam/
Dunia Intelektual Maroko-2
“Kalau anda mengalami penipisan rasa kebangsaan, cobalah tinggal beberapa lama di luar negeri”. Aku merasa lebih menjadi Indonesia selama di Maroko. Setidaknya, Aku pernah ziarah ke Saudi Arabia, Mesir dan Iran. Dari pengalamanku yang secuil di negeri-negeri ini ditambah obrolan dengan beberapa kawan di Belanda dan Perancis, aku menemukan rasa keindonesiaan begitu kental di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri. Kalau disuruh memilih, terus tinggal di luar atau kembali ke tanah air, aku yakin akan lebih banyak yang mengambil pilihan kedua.

Di luar, kami masih lebih suka berbahasa Indonesia, masih setia makan nasi, senang sekali berkumpul di acara-acara kemasyarakatan Indonesia, lebih memilih makan bakso, rendang, empek-empek, nasi uduk, nasi pecel, mie ayam, mie kocok, sate madura, sate padang dan lain-lain, ketimbang pizza, hamburger, steak, kfc, tagize, harira, kebab, tamis, dan seterusnya. Beberapa kawan justru baru bisa main gamelan, tari saman, pencak silat dll setelah belajar di Maroko. Kalau ada acara hiburan di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), lagu-lagu dangdut selalu meledakkan suasana heboh.

Di Maroko, Aku betul-betul merasakan kehangatan keluarga besar Bangsa Indonesia. Di sini tidak ada sekat-sekat partai politik, organisasi keagamaan, latar kultural, suku dan asal daerah. Semuanya seperti anak ayam yang dirangkul nyaman oleh induk yang bernama Bangsa Indonesia, dengan satu bahasa Indonesia dan membayangkan masa depan di Indonesia. Kami, para mahasiswa Indonesia di Maroko, bergabung dalam satu organisasi PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Maroko. Sejak tahun pertama di Maroko, Aku terlibat aktif di organisasi ini.

Di awal aktifitasku di PPI Maroko, Aku diserahi tugas mengawal Buletin La Mediterranee yang terbit bulanan. Mengawal penerbitan La Mediterranee membuatku memahami simpul-simpul tokoh dan pemikiran Maroko atau, jika diperluas, “al-Garb al-Islami”, satu istilah yang di Maroko lazim dipakai untuk menunjuk wilayah yang mewarisi kejayaan peradaban Islam yang berpusat di Andalusia meliputi Spanyol, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan Mauritania. Selama sekitar setahun mengelola buletin ini, aku merambah hampir semua wilayah keilmuan Islam mulai dari tafsir, hadits, ushul fiqh, filsafat, tasawuf, fiqh siyasah sampai fiqh perempuan.

Dunia intelektual Arab-Islam kontemporer memang mengakui Maroko sebagai gudang para pemikir dan penulis produktif. Sebutlah misalnya, al-Jabiri di kritik nalar, Salim Yafut di epistemologi, Abdul Majid as-Sugair di relasi kekuasaan versus pengetahuan, Muhammad Sabila di modernitas, Abdussalam Benabdelali di filsafat kontemporer, Abdullah al-Arawi di sejarah, Taha Abdurrahman di filsafat bahasa dan akhlak dan Ali Omleil di sosiologi. Aku pernah menulis di Jurnal Islam BK-PPI (Badan Kerjasama Perhimpunan Pelajar Indonesia) se-Timteng dan Sekitarnya tentang pemikiran filsafat di Maroko. Ternyata, hanya dalam empat puluh tahun, Maroko sudah bisa melahirkan pemikir-pemikir berkaliber internasional.

Ini baru di wilayah filsafat. Maroko juga punya futurolog. Namanya: el-Mehdi el-Manjra. Sebenarnya, sinyal tentang benturan peradaban yang membuat dunia goncang sekarang ini lebih dulu muncul darinya ketimbang Samuel Huntington. Hanya visi mereka beda: el-Manjra untuk menghindari, tetapi Huntington untuk mengompori. Dalam prediksinya, masa depan Eropa akan ada di tangan umat Islam. Ia juga mengatakan Arab memerlukan revolusi sekarang ini, sebab jika tidak bangsa Arab akan membayar ongkos sangat mahal karena segalanya sudah terlambat. Tokoh yang lebih banyak menghabiskan usianya di Amerika, Jepang dan Perancis ketimbang di negaranya sendiri ini sangat produktif mengeluarkan karya-karya yang menyerang sengit negara-negara kolonial lantaran penghinaan-penghinaan ekonomi, politik, kebudayaan dan nilai yang gencar mereka lancarkan kepada dunia ketiga sampai sekarang ini.

Tentu anda cukup familiar dengan Fatima Mernissi. Tokoh perempuan ini betul-betul membuktikan jargonnya, “menulis adalah obat awet muda paling mujarab”. Belum lama, ia mendapatkan penghargaan kesastraan dan kebudayaan dari Belanda. Karyanya tak pernah berhenti mengalir. Ternyata tokoh-tokoh perempuan lain, tidak kalah hebat. Kita bisa menyebut misalnya, Raja’ Naji Mukawi, pakar hukum keluarga; Aisyah al-Hijami, pakar ilmu maqashid dan Farida Zamrou, ulama perempuan yang belakangan serius meng-counter karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd. Mereka adalah tiga ulama perempuan yang mendapat kehormatan menyampaikan ceramah di Majelis Raja Maroko pada Bulan Ramadlan yang disebut: ad-Durus al-Hasaniyah dengan pembicara tokoh-tokoh ulama dari seluruh dunia Islam.

Kebetulan sekarang ini Aku menulis Disertasi tentang ad-Durus al-Hassaniyah ini dengan fokus pada durus ulama-ulama Maroko. Kalau dulu ketika di Ma’had Aly Situbondo, Aku baru tahu sebatas nama al-Qurthubi, Ibnu al-Arabi Mufassir, Ibnu Arabi Sufi, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun dan as-Syathibi sebagai ulama dari kawasan kejayaan peradaban Islam di Andalusia, kini Aku mengenal semakin banyak nama, pemikiran dan horizon intelektual kawasan ini. Setelah di Maroko, Aku baru mengenal nama-nama ulama semacam Abu Madyan (sufi amali), Qadli Iyadl (muhaddits, mufassir), Ibnu Abdil Barr (muhaddits), Ibnu Athiyah (mufassir), Imam Sahnun (faqih); atau yang lebih belakangan: Abu Hasan al-Yusi (ensiklopedis, salah seorang pensyarah Jam’ul Jawami’), Thahir Bin Asyur (mufassir), Allal al-Fasi (tokoh kemerdekaan dan ensiklopedis keilmuan Islam Maroko); atau yang lebih gress lagi Ahmad ar-Raisuni (pakar maqashid), Muhammad ar-Rougi (Faqih), keluarga Bin as-Shiddiq (keluarga muhaddits, tinggal di kota Tanger), Syekh Hamzah (guru spiritual Tarekat Qadiriyah Butsyisyiah), Ahmad Taufiq (sejarawan) dan masih banyak lagi.

Satu nama lagi yang tidak boleh dilupakan: Ibnu Batutah, petualang besar yang mampir dua kali di nusantara dalam perjalanannya ke China dan kembali ke Maroko. Kisah perjalanannya keliling dunia itu, dituangkannya dalam kitab Rihlah Ibnu Batutah. Kitab ini sekarang menjadi lebih lengkap setelah di-tahqiq oleh Dr. Abdul Hadi at-Tazi, sejarawan Maroko, mantan Duta Besar Maroko di Irak. Apa yang dilakukan oleh Vasco de Gama atau Christopher Columbus untuk kasus Eropa, sebenarnya telah didahului oleh petualangan para pejuang dan ulama Islam. Inilah salah satu sebab, mengapa Islam begitu cepat merambah dunia. Lagi-lagi Maroko menyertakan nama besar dalam bidang ini.

Maka ketika Kepala Pusdiklat Departemen Luar Negeri RI berkunjung ke Maroko, Aku sangat bersemangat mengusulkan lembaga bersama penelitian Islam Indonesia-Maroko. Banyak bukti hubungan Indonesia Maroko tidak sekedar hubungan diplomatik, tetapi intelektual dan keagamaan. Misalnya, kitab al-Ajrumiyah, yang dikarang ulama Maroko Syekh Shanhaji itu, sangat akrab dengan kalangan pesantren di Indonesia. Tarekat Tijaniyah yang berpusat di Fes memiliki banyak pengikut di Indonesia. Ciri khas keberagamaan yang moderat, seimbang dan toleran sama-sama berlaku di Maroko dan Indonesia. Banyak hal yang harus dipelajari bersama untuk menguatkan hubungan persahabatan kedua negara untuk memberikan model Islam yang selalu sesuai dengan perkembangan dunia.

Kalangan perguruan tinggi Islam di Indonesia kelihatannya perlu mulai serius meneliti kekayaan intelektual Islam di Maroko untuk memperkaya studi Islam di Indonesia. Siapa mau memulai?

Plambik, 19 Juni 2007
Posted by Dedy W. Sanusi at 7:22 AM 1 comments
Labels: intelektual Maroko
Dunia Intelektual Maroko-1
Ketika Aku mendapat konfirmasi lulus seleksi beasiswa S2 ke Timur Tengah dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, Aku seperti terbang. “Terima kasih, ya Allah. Engkau beri hamba jembatan emas ke masa depan”. Aku seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Segera berjumpalitan di kepalaku, angan-angan yang lama terpendam karena situasi pesantren yang tidak memungkinkan aplikasinya.

Aku betul-betul terbang dengan pesawat Gulf Air dari Jakarta ke Casablanca. Selama 16 jam perjalanan udara itu, Aku masih seolah tak sadar, “benarkah Aku bisa kuliah S2 ke luar negeri dengan biaya Negara?”. Aku mulai merunut satu-satu apa yang ingin Aku kejar. Aku ingin terus cerdas secara intelektual. Aku ingin mahir betul berbahasa Arab. Aku ingin lepas dari belitan-belitan kultural yang menghadang pemuaian kapasitas intelektualku. Aku ingin bisa berbahasa Perancis. Aku ingin mendalami pemikiran Islam kontemporer. Aku ingin tahu lebih banyak tentang al-Jabiri. Banyak sekali yang Aku inginkan. Aku tidak pernah ingin hanya sekedar secara formal mendapat ijazah S2 semata.

Memang hanya dua nama yang Aku kenal saat-saat sebelum Aku berangkat ke Maroko: Mohamed Abed al-Jabiri dan Fatima Mernissi. Saat itu, al-Jabiri sedang ramai sekali diperbincangkan di kalangan Intelektual Islam Indonesia. Trilogi Kritik Nalar Arab-nya mendapat apresiasi dimana-mana, terutama di kalangan anak muda NU anti kemapanan. Sementara itu, Fatima Mernissi banyak disebut kalangan feminis Islam karena pembelaannya terhadap kaum perempuan dengan menunjukkan apa yang mereka sebut sebagai sikap misoginis dari teks-teks agama terhadap perempuan.

Aku yang lama di pesantren mengalami semacam kebingungan di tengah dua tradisi intelektual yang tarik menarik. Di satu sisi, setiap terlibat diskusi dengan kawan-kawan mahasiswa di luar pesantren semangat pemberontakan atas rigiditas kaum elit pesantren terasa sangat kuat, namun ketika harus kembali terbenam dalam rutinitas dan pelukan budaya pesantren, semangat itu seperti lahar yang dipendam Gunung Merapi yang tidak jadi meledak. Alhasil, kejutan bisa lolos melanjutkan belajar ke Maroko betul-betul Aku rasakan sebagai jalan keluar amat manis dari kondisi saat-saat ujung Aku di Pesantren yang jauh lebih banyak menggelisahkan ketimbang menenteramkan.

Ternyata, apa yang Aku temukan di Maroko, tidak sepenuhnya seperti apa yang Aku bayangkan sejak awal. Dalam semangat memburu lebih jauh tentang al-Jabiri, pertama kali, Aku terhenyak dengan buku tebal Karya George Tharabsyi, dengan bendera “Kritik atas Kritik Nalar Arab”. Untuk mengkritik satu buku al-Jabiri: Takwin al-Aql al-Arabi saja, George meluncurkan tiga buku. Ia membaca buku al-Jabiri, buku-buku yang dibaca al-Jabiri dan buku-buku yang seharusnya dibaca al-Jabiri tetapi tidak dibacanya. Hasilnya dahsyat sekali, ia menguliti, menunjukkan bolong-bolong dan memberi pikiran tandingan yang melampaui klaim-klaim al-Jabiri dalam Trilogi Kritik Nalar Arab-nya. Semangat awalku menjadi terevisi.

Kesempatan belajar di Maroko memang membuka cakrawalaku luas sekali. Aku tidak hanya bisa membaca al-Jabiri, tetapi juga kontra al-Jabiri; tidak hanya membaca Fatima Mernissi tetapi juga kontra Mernissi; tidak hanya membaca karya-karya yang menyerang Abu Hurairah misalnya, tetapi juga karya selevel yang membela Abu Hurairah. Ternyata, kebanggaan sekedar memberontak yang ramai diadopsi kalangan anak-anak kampus Islam sebelum Aku berangkat ke Maroko, mengidap kelemahan yang sangat fatal. Belum lagi menguasai betul karya-karya tokoh-tokoh acuan untuk memberontak tradisi, karya tandingannya yang tidak kurang mendalam hampir tak tersentuh. Aku yang hampir tergerus arus pemberontakan anak-anak muda itu, harus merevisi pandangan-pandanganku sendiri, menyadari betapa banyak sekali informasi pengetahuan yang belum Aku lahap.

Akupun menyusun ulang langkah-langkah ke depan. “Kecelakaan” diterima di jurusan Akidah Filsafat Universitas Qarawiyyin dari keinginan semula untuk mengambil jurusan Fiqh-Ushul Fiqh, mengantarkan Aku untuk menyusun ulang kepingan pengetahuan filsafatku yang berserak-serak; memberiku kesempatan untuk menimba langsung pengetahuan turats Islam dari ulama Maroko, dosen-dosenku di Fakultas Ushuluddin Universitas Qarawiyyin. Aku belajar Tafsir dari Dr. Idriss Khalifah; Hadits dari Syekh Abdullah Bin Shiddiq; Ilmu Sosial dari Dr. Abdussalam al-Gannouni; Ilmu Kalam dari Dr. Muhammad Benyaisy; Filsafat dari Dr. Abdullah as-Syarif; profil pemikir Islam dari Dr. al-Murabith at-Tirgi.

Aku sangat terkesan dengan kehangatan dosen-dosenku itu. Tidak jarang jika berpapasan mereka dulu yang menyapa kita. Kalau kita punya kepentingan, mereka dengan akan tekun mendengar ‘curhat’ kita. Hampir tidak pernah terdengar kata ‘tidak’, jika kita meminta sesuatu. Bahkan Dr. Abdullah As-Syarif membuka pintu rumah dan ruang perpustakaan pribadinya untuk melayani hasrat keingintahuan murid-murid asingnya dari Indonesia ini. Dr. Bensyaiy, sekali seminggu mengajak kita untuk ikut majelis zikir-nya di Zawiyah Qadiriyah Butsyisyiah. Aku jadi betah dengan suasana yang ramah ini. Berbeda sekali dengan jarak hirarkis yang tebal antara santri dan kiai di pesantrenku sebelum Aku ke Maroko.

Di luar ruang kuliah, Aku terus memantau perkembangan wacana intelektual di tingkat nasional Maroko. Toko buku al-Edrissi di Tetouan atau Darul Aman di Rabat, selalu menjadi langgananku untuk sekedar memantau buku baru, jika tidak tersedia cukup uang untuk membeli. Di samping itu, buku-buku saku seratusan halaman juga ramai dipajang di lapak-lapak koran-majalah pinggir jalan. Sejauh amatanku, intensitas peluncuran wacana baru di dunia intelektual Maroko, cukup tinggi. Selalu saja ada buku baru yang diluncurkan setiap bulan. Lebih dari tiga tahun terakhir, al-Jabiri meluncurkan serial buku “Mawaqif” yang memuat apresiasinya terhadap kejadian-kejadian baru di dunia Arab-Islam dan Internasional. Kita terus bisa bertemu al-Jabiri setiap bulan dengan pikiran-pikiran segarnya lewat serial itu.

Mereka memang berkarya total di dunia yang menjadi keahliannya. Tidak tergoda untuk lompat-lompat ke dunia lain, politik misalnya. Urusan pimpinan tertinggi negara memang sudah final di negeri ini dengan sistem kerajaannya. Namun lebih dari itu, ruang untuk berekspresi tersedia cukup bagus, apalagi setelah Raja Muhammad VI naik tahta, tahun 1999. Lebih dari itu, kesejahteraan dosen juga sangat memadai untuk hidup lebih dari cukup dengan fasilitas yang memadai juga. Rata-rata, dosen PT bergaji 10000 dirham Maroko (setara 10 juta rupiah) dengan pengeluaran 5-6 ribu dirham perbulan. Maka tidak heran jika mereka ‘enjoy’ sekali dengan dunia membaca, meneliti, menulis dan mengeluarkan karya serius dan berkualitas.

Aku ingin cerita satu-satu tokoh-tokoh intelektual Maroko. Tunggu terus serial BIM ini. Insya Allah, nanti Aku cerita lebih rinci.

Plambik, 23 Mei 2007
Posted by Dedy W. Sanusi at 7:19 AM 0 comments
Labels: intelektual Maroko
Cerita Baru dari Negeri Matahari Terbenam
Belajar Islam di Maroko? Kedengarannya memang agak aneh. “Kenapa pilih Maroko?”, tanya heran seorang kawan sesama calon penerima beasiswa S2 Timur Tengah ketika kami berkumpul untuk pelatihan di Jakarta paruh akhir 2000. Sekenanya Aku bilang, “Aku mau belajar filsafat dan Bahasa Perancis”.

Pilihan belajar Islam di Maroko memang tidak selazim Mesir atau Arab Saudi. Yang terakhir ini adalah kiblat intelektual ulama Nusantara abad ke-17 s/d 19. Tentu dengan mudah kita bisa menyebut Syekh Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Arsyad Banjar dan seterusnya sebagai nama-nama besar ulama Nusantara jebolan tanah Hijaz. Akhir abad ke-19, posisi sentral ini mulai bergeser ke Cairo. Pelajar Islam Nusantara mulai banyak belajar ke Universitas al-Azhar Mesir. Bahkan hingga saat ini, jumlah pelajar Islam Indonesia di Mesir tetap yang terbanyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Timur Tengah.

Namun Maroko adalah cerita baru. Perhatian para pelajar Islam kini mulai sedikit bergeser ke barat. Ya, ke Maroko. Islam di negeri ini menawarkan banyak hal berbeda dan segar dari apa yang biasa kita temui di Indonesia, Saudi Arabia atau Mesir.

Aku betul-betul seperti memasuki kawasan “Islam yang lain” begitu mulai bersentuhan dengan dunia keagamaan di Maroko. Adzan Maroko. Dengan lagu sederhana dan pendek-pendek, panggilan shalat ini terasa aneh di telinga, tetapi asyik setelah menikmatinya. Mungkin, persis seperti makan buah Zaitun yang pertama kali terasa menyengat tetapi tidak bisa melepasnya setelah kita ketagihan. Kami sering tertawa sendiri ketika ada yang mencoba menirukan adzan Maroko ini.

Bacaan Qur’annya juga sangat khas. Bacaan Qur’an riwayat Imam Warsy yang dipakai di Maroko menjadi sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Pesona bacaan ini akan terasa begitu lepas shalat Magrib. Di seluruh masjid di Maroko, setiap bakda shalat Magrib ada lingkaran-lingkaran semaan al-Qur’an oleh para imam dan jamaah masjid untuk mengulang hafalan al-Qur’an mereka. Karena saking banyaknya, fenomena para penghafal Qur’an menjadi sesuatu yang biasa di negeri ini.

Kembali aku teringat pesan Pak Tolchah Hasan. “Pelajari Fiqh Maliki-nya!”. Kita memang bisa melihat live penerapan Fiqh Maliki di negeri ini. Pernah aku diteriaki orang di sebuah masjid karena swar-swer saja memakai air untuk wudlu gaya Fiqh Syafii. Mereka hanya wudlu dengan seember kecil air. Setiap mengusap anggota wudlu, mereka akan kembali mencelupkan tangan ke ember kecil tersebut. Cara wudlu yang betul-betul ideal bagi masjid yang mahal membayar air dan dipakai banyak jamaah. Hemat dan praktis. Yang asyik tentu saja di musim dingin. Di sebelah tempat imam selalu tersedia batu untuk tayammum. Mereka banyak tayamum di musim dingin, khususnya untuk shalat shubuh.

Aku juga sering kaget bercampur takut saat melihat anjing-anjing besar bersama tuannya bebas melenggang di tempat-tempat umum. O ya, bukankah anjing tidak najis menurut Fiqh Maliki?. Anjing menjadi sangat bersahabat dengan orang Maroko. Sambil tersenyum, mereka akan bilang, “ma tkhfsy” (jangan takut!), jika melihat kita agak ragu untuk berpapasan saat mereka berjalan membawa anjing-anjing mereka. Aku ngeri juga dekat-dekat anjing yang segede-gede anak kerbau itu!

Fiqh Maliki memang telah melembaga secara kultural dan formal di negeri ini. Masyarakat hidup sehari-hari dengan Fiqh Maliki. Identitas keberagamaan orang Maroko bisa disebut sebagai: berfiqh Maliki, bertashawuf Junaid al-Bagdadi dan berakidah Asy’ari. Selain fokus ke Fiqh Malikinya, tidak beda bukan dengan identitas keberagamaan kaum Nahdliyyin di Indonesia?. Secara formal negara mengadopsi Fiqh Maliki sebagai acuan utama dalam fatwa dan pengundangan hukum. Bahkan lebih dari itu, secara intelektual Fiqh Maliki mendapat ekspresi dan eksplorasi yang istimewa.

Di perpustakaan umum Tetouan, aku pernah menemukan dokumentasi berjilid-jilid seminar tentang Qadli Iyadl, salah satu tokoh Madzhab Maliki kebanggaan Maroko. Tesis dan disertasi banyak yang didekasikan untuk mengembangkan fiqh Maliki. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi juga banyak yang bekerja untuk itu. Darul Hadits al-Hassaniyah, lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Rabat, salah satunya didirikan untuk melestarikan dan mengembangkan Fiqh Maliki. Di lobi kampus, kita akan dengan mudah menemukan pajangan karya-karya disertasi para alumnusnya yang sekarang sudah menjadi ulama-ulama terkemuka di Maroko yang bertema detil-detil Fiqh Maliki.

Yang lebih memikat, eksplorasi di wilayah ushul fiqh juga tidak kurang gencar dilakukan. Ilmu Maqashid Syariah yang menemukan bentuk teoritisnya di tangan Syekh Abu Ishaq as-Syathibi juga menjadi daya tarik studi Islam di Maroko. Perhatiannya tidak lagi di tingkat orang per orang, tetapi lembaga. Untuk menyebut orang, Syekh Allal al-Fasi menulis buku “Maqashid as-Syariah al-Islamiyah wa Makarimuha”, Dr. Ahmad ar-Raisuni menulis “Nadzariyat al-Maqashid ‘Inda al-Imam as-Syathibi”, Dr. Abdul Majid as-Shugair menulis “al-Fikr al-Ushuli wa Isykaliyat as-Sulthah al-Ilmiyah fi al-Islam: Qiraah fi Nasy’at Ilm al-Ushul wa Maqashid as-Syari’ah”, dll. Sementara di tingkat lembaga, banyak jurusan S2-S3 yang khusus dibuka untuk mempelajari Maqashid Syariah dengan segala isi dan horizonnya.

Aku kira, menyerap Fiqh Maliki, Ushul dan Qawaid Fiqh-nya saja, tidak selesai hanya dalam waktu enam tahun. Apalagi jika ditambah dengan warisan intelektual Andalusia yang tidak kalah menariknya. Apalagi jika ditambah dengan serapan filsafat Eropa Modern, terutama Filsafat Perancis, yang dilakukan para intelektual Maroko secara berani dan bertanggung jawab. Apalagi jika ditambah dengan eksperimentasi para ulama Maroko di dunia tasawuf amali yang sudah diakui dunia Islam dengan zawiyah-zawiyah-nya (semacam pesantren) yang tersebar di seluruh penjuru negeri.

Dr. Hamid Asysyaq, Dosen dan Ketua Jurusan di Darul Hadits al-Hassaniyah yang suatu saat sempat kami undang berdiskusi di sekretariat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko berpesan agar kami jangan berhenti belajar di Maroko sebelum menangkap mutiara keilmuan ulama-ulama Maroko. Sejauh tangkapanku, Maroko memang memiliki pesona di Ilmu Maqashid, Filsafat Islam warisan Andalusia dan eksperimentasi olah rasa (tasawuf amali) yang dikembangkan para Sufi Maroko. Di sinilah, Aku menemukan jawaban mengapa belajar Islam ke Maroko.

Aku rasa, kalau AMCI (Agence Marocaine de Cooperation Internationale), lembaga di Kementerian Luar Negeri yang mengurus mahasiswa asing di Maroko, tetap memberi jatah sekitar 15 beasiswa per tahun untuk mahasiswa Indonesia yang hendak melanjutkan studi ke Maroko, cerita baru dari Negeri Matahari Terbenam ini akan semakin ramai di dunia intelektual Islam Indonesia.

Plambik, 17 April 2007
Posted by Dedy W. Sanusi at 7:16 AM 0 comments
Labels: tujuan studi
Negeri Eksotik di Ujung Barat Dunia Islam
Bercerita tentang Maroko? Iya, itulah yang diminta Sahabat MN.Harisuddin (Pimred Majalah Khittah) setelah enam tahun Aku belajar Islam di negeri itu.

Aku masih ingat, Januari 2001, Menteri Agama RI ketika itu, Bpk. M. Tolchah Hasan bercerita bahwa Maroko adalah negeri eksotis. Negeri yang lengkap. Negeri yang pemahaman Islam penduduknya mendalam, bukan melebar (seperti di negeri kita). Negeri yang mengadopsi sistem pendidikan Perancis dengan tetap mempertahankan akar panjang tradisi intelektual Islamnya. Negeri polyglotte, yang penduduknya setidaknya berbicara dua bahasa asing (paling banyak: Perancis-Spanyol) disamping bahasa asli, Amazig dan Arab. Negeri yang menganut fiqh Maliki. Maka pesan Pak Tolchah kepada kami yang hendak belajar Islam (S2) di Maroko ketika itu, “pelajarilah Fiqh Maliki-nya dan kuasai Bahasa Perancis-nya”.

Benar saja. 14 Januari 2001, kami (9 orang mahasiswa utusan Depag RI) menginjakkan kaki di Bandara Muhammad V Casablanca, Maroko. ‘Celana monyet’ (celana panjang penahan dingin) dan jaket tebal yang memang sudah kami siapkan sejak dari Jakarta, tidak sanggup menahan hawa dingin yang menusuk. Januari memang masih puncak musim dingin di negeri ini. Inilah hal baru pertama yang Aku hadapi begitu sampai di Maroko. Bertarung melawan dingin. Aku yang terbiasa kepanasan saat belajar di Sukorejo Situbondo, harus mengakrabi hawa yang kontras kini.

Sebagaimana negeri-negeri di Eropa, Maroko memang mengenal empat musim: dingin, semi, panas dan gugur. Yang paling berat bagiku, tentu saja musim dingin. Ihhhhh.... dingin dimana-mana. Bahkan di Kota Ifran, musim dingin berarti musim salju. Di Oukemeden, Marrakech, malah ada gunung salju abadi. Tapi meski berat, kalau sedang mengunjungi tempat wisata salju, jadi asyik saja. Suasananya romantis: putih. Kita bisa saling lempar salju atau berguling-guling di salju sambil menggigil kedinginan...

Pagi itu, mobil Camion putih milik KBRI Rabat sudah menunggu untuk mengangkut kami ke Rabat, Ibu Kota Maroko. Jarak tempuh yang satu jam setengah tidak terasa lama karena Aku asyik mengamati sepanjang jalan dari Bandara Casablanca ke Rabat. Warna dominan hijau menghiasi sepanjang tepi jalan. Belakangan Aku tahu, kalau komoditas utama Maroko adalah pertanian dan perkebunan. Hampir sepanjang tahun, penduduk Maroko menggarap pertanian dan perkebunan yang berproduksi sesuai musim. Buah-buahan misalnya: jeruk di musim dingin dan melon atau semangka di musim panas.

Melewati Februari, seperti negeri yang disulap, Maroko berubah indah-berseri. Ada bunga dimana-mana. Suatu ketika Aku pernah kembali dari Arab Saudi di awal Maret. Menjelang pesawat landing adalah saat-saat yang betul-betul tidak boleh dilewatkan. Tanah di Maroko berubah bak dilapisi permadani yang berwarna-warni. Bunga-bunga yang sedang bersemi itu bagaikan bidadari cantik yang tak henti mengumbar senyum. Kalau kita melintas di sepanjang jalan tol pun, kiri-kanan jalan dipenuhi bunga-bunga yang sedang mekar. Hati pun ikut berbunga-bunga di musim semi.

Ketika musim panas tiba, warga Maroko berubah penuh vitalitas. Musim panas adalah musim libur sekolah. Lebih dari sebulan mereka menikmati liburan musim panas. Pantai-pantai dipenuhi orang dari segala usia; dari sepanjang pantai Laut Altantik di selatan dan sepanjang pantai Laut Tengah di utara. Dari Casablanca sampai Tetouan, masyarakat Maroko sangat antusias berlibur ke pantai. “Yalla, Namsyi ‘lbhr (ayo ke pantai!)”, kata mereka selalu saat kita bertemu di musim panas.

Aku dan beberapa kawan yang kuliah di utara, Kota Tetouan, ikut menikmati wisata Pantai Martil, Tres Pedras atau Cabo Negro di pinggiran Laut Tengah (Mediterania). Kawasan wisata pantai laut tengah ini menjadi wisata primadona warga Maroko di Eropa yang di musim panas ramai-ramai mudik ke kampung halamannya. Pokoknya, belajar jadi agak susah di musim panas. Banyak godaan. Gadis-gadis Maroko daerah utara yang berciri khas campuran Arab-Eropa dengan kulit putih bersemu merah itu... Alamaaak, begitu menggoda!

Naik sedikit dari Tetouan, ke kota Tanger, kita akan menemukan tempat pertemuan Laut Tengah dengan Laut Atlantik yang disebut “multaqal bahrain”. Konon tempat inilah yang disebut dalam al-Qur’an, Surat al-Kahfi sebagai tempat bertemunya Nabi Musa dan Orang Shaleh yang banyak orang menyebutnya Nabi Khidir. Katanya, air di lokasi pertemuan dua laut itu masih tetap tawar sampai di kedalaman laut.

Di selatan, Maroko memiliki padang pasir yang indah dan menjadi perhatian dunia. Tentu kita pernah mendengar “Rally Paris-Dakar”. Daerah padang pasir Maroko menjadi rute yang juga dilalui rally kelas dunia yang menempuh rute dari Paris (Perancis) ke Dakar (Senegal) itu. Wilayah Maroko yang berdekatan dengan Mauritania dan Senegal ini juga mengundang perhatian insan film dunia. Di Warzazat, ada studio alam berlatar padang pasir yang pernah menjadi lokasi pembuatan beberapa film Hollywood. Yang paling spektakuler adalah Film Gladiator yang berhasil menyabet beberapa Piala Oscar. Daerah ini juga menjadi perhatian PBB karena Sahara Barat masih menjadi wilayah sengketa tiga pihak: Maroko yang bersiteguh wilayah ini masih bagian tak terpisahkan darinya, Kelompok Pro Kemerdekaan Sahara Barat dan Aljazair yang mendukung inisiatif kelompok ini.

Segala pernak-pernik kehidupan padang pasir ada disini. Masyarakatnya yang berkulit coklat kehitaman, gadis-gadisnya yang hitam manis, pakaian jubah khas padang pasir, unta dan rumah-rumah dari tanah menjadi daya tarik kawasan ini. Banyak film-film dan sinetron Arab –baik yang berlatar sejarah maupun percintaan kontemporer-- yang dilahirkan di lokasi ini.

Betul kata Pak Tolchah. Maroko memang negeri eksotis yang lengkap. Di sini ada tanah subur dengan pohon-pohon zaitun yang hijau tetapi juga ada padang pasir yang memancarkan panorama siluet coklat keemasan. Di sini ada masyarakat laut tengah dengan segala anugerah alam dan warisan pertemuan peradaban Mediterania yang punya akar sejarah panjang, tetapi juga ada masyarakat dengan pengaruh Atlantik yang bermukim dari tengah ke selatan Maroko. Di sini ada gadis-gadis berkulit putih kemerahan peninggalan sejarah Andalusia, tetapi ada juga gadis-gadis hitam manis anak-anak padang sahara.

Maroko memang negeri eksotis yang lengkap....
http://featuresdedywsanusi.blogspot.com/
Selayang Pandang Kajian Sistem Pendidikan
di Indonesia dan Maroko (Negeri Magrib) **

oleh: Drs. Dede Kosasih, M.Si.*

A. PENDAHULUAN

Abad ke-21 merupakan era penentuan pilihan prioritas untuk maju dan mampu
memberikan jawaban terhadap tantangan-tantangan global. Tantangan dan perkembangan
masyarakat di masa datang diantisipasi sebagai era teknologi, informasi dan globalisasi yang
berakar pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Sistem kehidupan sosial, ekonomi, politik,
ilmu, teknologi, seni dan bahkan agama, sangat dipengaruhi oleh perkembangan SDM dan
masyarakatnya. Maka masyarakat atau negara yang mampu mengembangkan SDM yang
unggul tentu akan berhasil dalam kerjasama maupun persaingan global, sedangkan
sebaliknya, masyarakat dan negara yang tertinggal dalam pengembangan SDM-nya akan
stagnan, mungkin tergeser bahkan tersingkir dari percaturan global.
Dari pernyataan di atas, dapatlah dikatakan bahwa konsep sumber daya manusia
(human resources) itu berkembang ketika diketahui dan disadari bahwa manusia mengandung
berbagai aspek sumber daya bahkan sebagai sumber energi. Manusia tidak hanya berunsur
jumlah, seperti terkesan dalam pengertian penduduk, tetapi juga mutu. Mutu atau kualitas
manusia ini tidak ditentukan hanya oleh aspek keterampilan atau kekuatan tenaga fisiknya,
tetapi juga pendidikannya atau kadar pengetahuannya, pengalaman atau kematangannya, dan
sikapnya atau nilai-nilai yang dimilikinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, ternyata
mengharuskan pula peningkatan pada bidang pendidikan. Karena pendidikanlah yang
menjadi faktor penentu dan strategis dalam pembangunan sumber daya manusia suatu
bangsa. Maka semakin tinggi pendidikan yang diperoleh seseorang sejatinya derajat
kemanusiaannya pun semakin meningkat pula. Hal ini berbanding lurus dengan
meningkatnya kualitas pola pikir, sikap dan tindakan yang semakin efektif dan efisien, baik
dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, hubungan antar manusia (sosial) maupun
hubungan dirinya dengan Sang Maha Pencipta (Allah SWT).
Kebijakan strategik pembangunan sistem pendidikan nasional, baik pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah sampai jenjang pendidikan tinggi secara menyeluruh
hendaknya mengarah kepada aspek kehidupan di atas yang bermuara pada peningkatan
mutu (quality) dan persamaan perlakuan (equality).
Upaya peningkatan mutu (quality) pendidikan dan persamaan perlakuan (equity)
kepada semua anak usia wajib belajar dalam memperoleh akses pendidikan merupakan isu
yang utama dalam pertemuan 37th
SEAMEO (Southeast Asian Ministers of Education
Organization) Council Conference di Chiang Mai tanggal 11 Maret 2002 dengan telah
dihasilkannya Declaration on Quality and Equity in Education in Southeast Asia. Pertemuan
tersebut ditindaklanjuti dengan Special High Official Meeting tanggal 29-31 Mei 2002 di
Thailand yang menyepakati bahwa penerapan Q&E di bidang pendidikan bertujuan untuk
menempatkan pendidikan untuk semua (education for all), di antaranya untuk mengurangi
gap antara kaya dan miskin dalam mendapatkan pengetahuan dan informasi.
Pendidikan dalam perspektif filosofis, pada hakekatnya merupakan proses
memanusiakan manusia. Tujuan utama dari pendidikan itu adalah membantu peserta didik
untuk mencapai kematangan pribadi. Menjadi manusia yang berbudi pekerti, berahlak
karimah serta mempunyai skill yang mumpuni untuk bekal dalam mengarungi kehidupannya,
hal itu termaktub dalam Undang-undang Sistem pendidikan nasional Nomor 20 Tahun 2003.


2
* Lektor Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI
**Makalah ini disampaikan dalam Seminar & Workshop Pendidikan Internasional dengan tema: ”Be a
Good teacher” di Gedung KNPI Kab. Kuningan tanggal 27 Desember 2009

B. LANDASAN PENDIDIKAN

Pelaksanaan pendidikan di Indonesia berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan pelaksanaan pendidikan
Maroko berlandaskan kepada Dahir (Undang-undang yang dikeluarkan oleh raja) yang dapat
diuraikan dalam undang-undang departemen pendidikan nasional Maroko. Undang-undang
tersebut selalu direvisi dan dikembangkan oleh pemerintah Maroko atas arahan dan direksi
dari raja.
Pendidikan yang dilaksanakan baik di Maroko maupun di Indonesia berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang baik serta bertanggung jawab. Meskipun hal di atas menjadi
tujuan utama pendidikan di Maroko dan Indonesia, tentu saja ada perbedaan dasar yang
memberi nilai khusus untuk pendidikan kedua negara tersebut.
Pendidikan di Maroko berdasarkan agama Islam dan bahasa Arab sebagai agama dan
Bahasa resmi negara, persatuan bangsa dari ujung utara sampai ujung selatan termasuk pantai
pasir Maroko, dan raja sebagai pemimpin negara dan pelindung agama Islam sebagaimana
diwajibkan kepadanya oleh umatnya yang beragama Islam. Hal ini tentu saja berbeda dengan
Pendidikan Indonesia yang berlandasan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang ada banyak kesamaan dan perbedaan antara sistem
pendidikan di Maroko dan Indonesia. Jalur pendidikannya terdiri dari jalur formal dan jalur
non-formal.


C. SISTEM PENDIDIKAN
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Jenis pendidikan mencakup: pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Dari sisi lain, pendidikan nonformal meliputi
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan
pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik. Kemudian satuan pendidikan nonformal terdiri
atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat,
dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Meskipun ada banyak kesamaan antara pendidikan Indonesia dan pendidikan Maroko
sebagaimana diuraikan di atas, tapi bagi seorang pemerhati ilmu pendidikan yang cenderung
untuk mempelajari dunia pendidikan dari akar sampai permukaan. Hal ini tentu saja akan
menemukan beberapa perbedaan di antara kedua sistem pendidikan tersebut, terutama di
level landasan dan latarbelakang dapat dilihat pengaruh sistem dan budaya fronkofon di
dunia pendidikan Maroko dan sistem dan budaya Australia dan Amerika Serikat di pendidikan
Indonesia.

D. DAMPAK PENDIDIKAN FRONKOFON DI MAROKO
Sistem pendidikan di Maroko mulai mengalami perubahan dasar sejak Maroko jatuh
dalam kekuasaan Perancis selama 40 tahun. Perancis menetapkan bahasa Perancis menjadi
bahasa nasional dan bahasa resmi di seluruh perguruan tinggi yang dibangun pada masa
penjajahan. Generasi bangsa mulai belajar di perguruan tersebut serta diberikan kesempatan
untuk melanjutkan perguruan tinggi di Perancis. Kebijakan ini menghasilkan alumni pintar
dan cerdas yang kemudian menjadi pejabat tinggi negara. Tapi kemajuan tersebut tidak
membangkitkan mutu pendidikan dan ekonomi negara karena tidak sesuai dengan nilai
keagamaan dan budaya masyarakat yang yang sangat dominan dalam kehidupan sehar-hari. 3
* Lektor Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI
**Makalah ini disampaikan dalam Seminar & Workshop Pendidikan Internasional dengan tema: ”Be a
Good teacher” di Gedung KNPI Kab. Kuningan tanggal 27 Desember 2009

Bahasa Perancis merupakan bahasa rakyat di sebagian besar wilayah Maroko. Bahkan
di kota-kota tertentu, Bahasa Perancis lebih dominan ketimbang bahasa Arab. Televisi, radio,
koran, majalah, menyediakan banyak menu berbahasa Perancis. Pusat-pusat kebudayaan
Perancis, tersebar di setiap kota-kota besar Maroko. Buku-buku dari yang santai sampai yang
serius, banyak ditulis dalam bahasa Perancis. Seminar dan ceramah-ceramah ilmiah, banyak
dipresentasikan dalam bahasa Perancis. Artinya, bagi mahasiswa Maroko atau dari luar yang
belajar di Maroko, bisa atau tidak berbahasa Perancis, adalah soal keharusan.
Pengaruh pendidikan Perancis dapat dilihat secara konkret di undang-undang
pendidikan yang baru mulai dilaksanakan pada tahun 2004. Undang-undang yang sudah
disahkan dan kini menghasilkan apa yang disebut sebagai (nidzam jadid) dalam dunia
pendidikan Maroko lahir dalam konteks modernisasi pendidikan Maroko. Semangat
modernisasi ini pada tahap rancangan undang-undang mengundang reaksi keras dari kalangan
ulama karena pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab tidak mendapatkan porsi yang
semestinya dalam rancangan undang-undang. Mereka merekomendasi agar rancangan
ditelaah ulang untuk memasukkan keharusan pendidikan agama terintegrasi sebagai
kurikulum wajib dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi (bahkan sampai level program
doktor).

E. DAMPAK PENDIDIKAN ANGLO-SAXON DI INDONESIA

1. Pendidikan Indonesia Pada Masa Kolonial.
Saat Belanda masuk ke Indonesia, pendidikan yang ada diawasi secara ketat oleh
Belanda. Hal tersebut dikarenakan Belanda tahu bahwa melalui pendidikan gerakan-gerakan
perlawanan halus terhadap keberadaan Belanda di Indonesia pada saat itu dapat muncul dan
menyulitkan Belanda saat itu. Usaha Belanda untuk membatasi pendidikan terhadap kalangan
pribumi terus berlanjut, hingga saat muncul kritik dari para kaum humanis Belanda. Sindiran
dan kritik para kaum humanis yang dituangkan dalam tulisan seperti Max Havelaar
(MaxHavelaar: Or the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company, Multatuli,1860) sedikit
banyak telah memaksa Belanda untuk memberlakukan politik etis (Ethical Policy - ‘Ethische
Politiek), atau juga dikenal sebagai politik balas budi, pada sekitar tahun 1901.
Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi, dan
edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya barat
untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi
sebuah saran pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata
hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca, dan menulis. Setelah lulus dari
sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendahan untuk kantor-kantor
Belanda di Indonesia. Pada masa ini pula, pendidikan-pendidikan rakyat juga turut muncul.
Sekolah-sekolah rakyat seperti Taman Siswa dan Muhammadiyah muncul dan berkembang.
Jadi dapat dikatakan pada masa tersebut terdapat tiga tipe jalur pendidikan yang berbeda.
Pertama adalah sistem pendidikan dari masa Islam yang diwakili dengan pondok pesantren,
pendidikan bergaya barat yang disediakan oleh pemerintah Hindia-Belanda, dan terakhir
pendidikan "swasta pro-pribumi" seperti Taman Siswa, Muhammadiyah, dan lain-lain.
Meskipun demikian, pada dasarnya banyak kemiripan dalam sistem pendidikan ala Hindia-
Belanda dan pendidikan yang disediakan oleh kaum-kaum "pro-pribumi".

2. Pengaruh Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Kolonial Dengan Sistem Pendidikan
Saat Ini.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa pendidikan pada masa kolonial bertujuan
untuk mengisi kekosongan pegawai rendahan di kantor-kantor Belanda. Pada saat ini, bisa
dikatakan sistem pendidikan yang ada hampir mirip tujuannya dengan sistem pada saat
kolonial. Yaitu menciptakan manusia yang siap kerja, entah itu menjadi buruh, pegawai
negeri, karyawan rendahan, dan sebagainya. Pendidikan yang diberikanpun tipenya sama,
kalau dahulu untuk menjadi pegawai rendahan hanya butuh bisa baca tulis dan berhitung,
saat ini ilmu yang diberikan dalam pendidikan seakan-akan hanyalah ilmu untuk pengisi 4
* Lektor Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI
**Makalah ini disampaikan dalam Seminar & Workshop Pendidikan Internasional dengan tema: ”Be a
Good teacher” di Gedung KNPI Kab. Kuningan tanggal 27 Desember 2009

kurikulum dan mengejar nilai akademis atau gelar. Sekalinya diberikan pengetahuan yang
dapat diterapkan, ilmu tersebut diberikan dalam bentuk jadi, tidak perlu dipikirkan kembali.
Bisa dikatakan pendidikan Indonesia saat ini seakan-akan hanya memberikan buku pedoman
bagaimana harus bergerak tanpa harus berfikir. Akibatnya, keberadaan kaum-kaum pribumi
Indonesia saat ini juga tidak jauh-jauh dari posisi "pegawai rendahan" seperti tujuan
pemberian pendidikan pada masa kolonial. Salah satu penyebab utamanya adalah kekurangan
pengalaman bagaimana harus berfikir yang seharusnya distimulasi pada saat pendidikan
berlangsung. Penyebab lainnya adalah dangkalnya impian yang muncul tentang tujuan dari
pendidikan tersebut.
Tersebar secara umum di masyarakat, tujuan pendidikan adalah supaya kelak dapat
bekerja dan mencari uang. Tidak terbersit pemikiran di mana ilmu yang didapatkan pada saat
pendidikan berlangsung tersebut akan dipergunakan. Dan dengan jalan apa ilmu-ilmu yang
didapat di dalam pendidikan akan berguna nantinya.
Berdasarkan fakta-fakta di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun ada perbedaan
pada sistem pendidikan baik di Maroko maupun Indonesia, masih ada banyak kesamaan yang
dapat dibaca dari segi sejarah dan perjuangan. Kedua negara tersebut menjadi korban sistem
politik, hukum. Sistem pendidikan dunia barat tidak hanya membawah manfaat bagi
masyarakat kedua negara tersebut malah semakin menjajahnya saja sampai anak-anak dan
generasi di Maroko dan Indonesia mulai kehilangan nilai luhur keagamaan, budaya malu dan
identitas. Contohnya, di saat ini mulai kita dengar yang memiliki sertifikat dari dunia barat
dan menguasai bahasanya terutama bahasa Inggris di Indonesia dan Perancis di Maroko, yaitu
orang yang cerdas dan hebat, sedangkan yang belajar di dalam negeri memakai bahasa resmi
negara asalnya disebut kurang mampu dan belum mencukupi standar pendidikan yang
dibutuhkan. Ini paradox yang luar biasa dan sulit sekali untuk dipahaminya.
Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia dan Maroko saat ini bisa dialami bersama.
Dari gambaran di atas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan
ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim social budaya dan politik ikut berperan. Namun
bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep
pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus
menerus sesuai perubahan dan pemahaman umat itu sendiri.

3. Pendidikan Berawal Dan Beakhir Pada Keluarga (Orang Tua)
Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan
berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai
menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap
sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan
industri dan globalisasi semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana
pembelajaran.
Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu pendidikan yang tidak
mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum yang
berlaku. Home Schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya
ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal:
adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam.
Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita
ambil yaitu seperti apapun bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya
tanggung jawab dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orangtua
yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan berawal dari keluarga.

F. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi Maroko dan Indonesia baik
sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai masa kontemporer tetap menjadi dua Negara yang
memiliki sejarah kekuasaan yang sama sebelum Indonesia menjadi rebublik. Sejarah Islam di
Maroko dan Indonesia tidak terlepas dari gerakan-gerakan agama dan budaya yang selalu
melakukan penentangan terhadap kebijakan pemerintah atau masyarakat madani. Gerakan 5
* Lektor Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI
**Makalah ini disampaikan dalam Seminar & Workshop Pendidikan Internasional dengan tema: ”Be a
Good teacher” di Gedung KNPI Kab. Kuningan tanggal 27 Desember 2009

penentang ini mencuat ketika pemerintah kedua negara menjalin kerjasama dengan pihak
dunia barat yang dianggap oleh sebagian besar umat Islam sebagai pembawa paham sekuler ke
dunia Islam.
Di lain pihak di tengah keributan yang muncul dan perlawanan terhadap budaya dan
nilai luhur Indonesia dan Maroko terutama melalui jalur pendidikan. Gerakan-gerakan
tersebut yang sah tersebut tidak pernah berhasil merubah akar kepercayaan dan pola pikir
umat yang baik karena kefanatikan masyarakat Maroko dan Indonesia serta kesuciannya.
Bangsa Indonesia dan Maroko adalah dua bangsa yang telah memperjuangkan kemerdekaan
bangsa-bangsa lain dan sejarah mencatat karya, pemikiran, dan peradaban yang sangat
berpengaruh seluruh dunia. Namun di tengah kefanatikan masyarakat Maroko dan Indonesia,
ternyata kekuasaan Perancis, Belanda, dan globalisasi yang hanya berjalan beberapa tahun
telah meninggalkan pengaruh yang besar di Maroko dan Indonesia, sehingga sistem
pendidikan di kedua negara tersebut didasarkan pada latarbelakang dunia Barat.


Referensi

Komunitas Paduraksa, “Sedikit Uraian Sejarah Pendidikan Indonesia”,
Mei 2008, (http://tinulad.wordpress.com/sedikit-uraian-sejarahpendidikan/)
- Haris Zaky Mubarak, “Reflektivitas Pendidikan Kolonial di Masa Kini”,
Desember 2007,
http://pikokola.wordpress.com/files/2008/11/pendidikan-masa-kolonial-dan-
sekarang.pdf
phadli23.multiply.com
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/196307261990011-DEDE_KOSASIH/PDF/Makalah/Kajian_Singkat_Pendidikan.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar